Skip to main content

Sejarah Seni Lukis Indonesia Era Pra Kemerdekaan hingga Kontemporer

Dalam perkembangan seni lukis di Indonesia yang berbasis pada paradigma estetik humanisme universal, masa pendudukan Jepang sangatlah berpengaruh pada proses penciptaan karya pada para pelukis di masa tersebut. Para pelukis masih sangat terpengaruh pada dampak berdirinya PERSAGI, sehingga mereka masih mengedepankan penciptaan karya seni lukis untuk kepentingan revolusi dan humanisme.

Pada saat itu, didirikan KEIMIN BUNKA SHIDOSO (Lembaga Kesenian Indonesia - Jepang) oleh Pemerintah Jepang. Hakikatnya, pendirian lembaga ini justru lebih mengarah pada kegiatan propaganda untuk memajukan bangsa Jepang. Selanjutnya, PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) oleh Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH Mansur pada tahun 1943. PUTERA didirikan untuk memperkokoh dan terus mengembangkan seni dan budaya di Indonesia. Di dalam organisasi ini, bidang seni lukis dipimpin oleh S. Sudjojono dan Afandi. Beberapa saat setelahnya, bergabung pelukis Hendra Gunawan, Sudarso, Barli, Wahdi dan masih banyak lainnya.

Lukisan Sutopo BS. Pelukis kawan dekat Hendra Gunawan di penjara.  Koleksi Art Gallery Jakarta. Kontak WA kami untuk mendapatkan lukisan bersejarah ini.
Selama Jepang menjajah Indonesia, para seniman ibaratkan terbagi dalam dua kubu yaitu seniman-seniman yang pro dan kontra terhadap Jepang.  Bagi para seniman yang pro, mereka berkesenian dalam wadah KEIMIN BUNKA SHIDOSO (Lembaga Kesenian Indonesia - Jepang). Sebaliknya, para seniman yang kontra dengan Jepang memilih tergabung di dalam PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Karya-karya seni lukis para pelukis yang tergabung dalam organisasi ini mayoritas merupakan tampilan dari paradigma humanisme dan nasionalisme mereka. Para tokoh seniman yang menonjol pada masa ini antara lain adalah S. Sudjojono, Basuki Abdullah, Emiria Soenassa, Agus Djajasumita, Barli, Affandi, Hendra Gunawan, dan lain-lain.

Selepas masa penjajahan Jepang, para pelukis Indonesia memasuki era baru dalam berkesenian. Memasuki era kemerdekaan, mereka memperoleh  kebebasan dan berdaulat sepenuhnya pada proses penciptaan karya. Indikasi dari kebebasan ini adalah munculnya berbagai kelompok atau perkumpulan seniman,yaitu antara lain Pada tahun 1946 berdiri SIM (Seniman Indonesia Muda) yang sebelumnya bernama “Seniman masyarakat”. Dipimpin oleh S. Sudjojono, anggotanya : Affandi, Sudarso, Gunawan, Abdus Salam, Trubus dan anggotanya masih banyak lagi.

Memasuki tahun 1947, muncul organisasi dari para pelukis rakyat yang dipimpin oleh Affandi dan Hendra Gunawan yang keluar dari perkumpulan SIM (Seniman Indonesia Muda). Beberapa seniman anggota dari pelukis rakyat yang terkenal antara lain adalah Hendra Gunawan, Sasongko, Kusnadi dan lain sebagainya. Selanjutnya, di tahun 1948 muncul perkumpulan yang memberikan kursus menggambar bagi masyarakat awam dengan nama Prabangkara. Kemudian para seniman tokoh SIM, Pelukis Rakyat dan organisasi lainnya merumuskan  pendirian lembaga pendidikan ASRI (Akademi Seni Rupa). Beberapa tokoh seniman yang mengawali berdirinya lembaga pendidikan tersebut antara lain S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Djayengasmoro, Kusnadi, Sindusisworo dan lain-lain. 

Lukisan Basoeki Abdullah. Terkoleksi. Kontak WA kami untuk mendapatkan berbagai lukisan old master Indonesia.

Pada masa ini personalitas seniman mengutamakan perasaan dan emosi (liorisme). Fenomena visual yang tumbuh bersifat intuitif, imajinatif, dekoratif, dan non formal improvisatiris. Yang menonjol dalam periode ini adalah seni abstrak dan keragaman corak dapat dilihat pada karya-karya Achmad Sadali, A.D. Pirous, Sri Hadi Soedarsono, Popo Iskandar, Fadjar Sidik, Widayat, Zaini, Nashar, Rusli dan lain-lainnya.

Periode pendidikan formal dalam sejarah seni rupa di Indonesia pada masa ini ditandai dengan berdirinya pendidikan pendidikan formal antara lain adalah ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang berdiri tanggal 18 Januari 1948 di Yogyakarta. ASRI adalah lembaga pendidikan formal yang dipimpin pertama kali oleh oleh R.J. Katamsi. Tak lama kemudian, pada tahun 1950 di Bandung berdiri Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar yang dipelopori oleh Prof. Syafei Sumarja dibantu oleh Muhtar Apin, Ahmad Sadali, Sudjoko, Edi Kanta Subraka dan para seniman lainnya.

Memasuki tahun 1959, Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar diubah oleh para pendirinya menjadi Jurusan Seni Rupa pada ITB (Institut Teknologi Bandung). Guru gambar pada tingkat sekolah-sekolah menengah menuntut terbentuknya jurusan seni rupa pada perguruan tinggi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Negeri) yang tersebar di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan kesenian mulai masuk ke dalam kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Masa Pendidikan Formal ini melahirkan pelukis-pelukis akademis seperti: Widayat, Bagong Kusudiharjo, Edhi Sunarso, Saptoto, G. Sidharta, Abas Alibasyah, Hardi, Sunarto, Siti Rulyati, Mulyadi, Irsam, Arief Sudarsono, Agus Dermawan, Aming Prayitno, dan lainnya (Yogyakarta). Popo Iskandar, Achmad Sadali, But Muchtar, Srihadi, A.D. Pirous, Hariadi, Kabul Suadi, Sunaryo, Jim Supangat, Pandu Sadewa, T. Sutanto. (Bandung).

Lukisan Fadjar Sidik. Fajar Sidik original painting. Koleksi Art Gallery Jakarta. Kontak WA kami untuk mendapatkan lukisan bersejarah ini.

Masa Indonesia Baru diawali pada sekitar tahun 1974. Geliat seni rupa Indonesia disemarakkan oleh munculnya seniman-seniman muda yang berlatar belakang berbeda. Para seniman yang mendapatkan pendidikan formal dan otodidak bergabung dan merumuskan aliran yang tidak dapat dikelompokkan pada aliran/corak yang sudah ada. Aliran ini adalah corak baru dalam kancah seni rupa Indonesia. Karya-karya yang diciptakan para seniman berlandaskan pada konsep tidak membeda-bedakan disiplin seni, mengutamakan ekspresi, menghilangkan sikap mengkhususkan cipta seni tertentu, mengedepankan kreativitas dan serta ide baru, besifat eksprimental berbama Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. 

Paradigma estetik kontektualisme pluralistis dikembangkan secara meluas pada periode ini. Masalah socio-actual lebih diutamakan para seniman daripada personalitas mereka. Gerakan Seni Rupa Baru muncul dengan paradigma estetik yang sangat berlawanan dengan bentuk seni rupa personal, liris, dan penuh metaphor artistik. Paradigma Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1980-an mulai menjadi pelopor munculnya seni rupa kontemporer Indonesia dengan ditandai proses kreatif yang analitik, kontektual, dan partisipatoris. Dalam paradigma ini adanya penghancuran batas-batas seni murni, seni tinggi dan seni rendah, serta sikap plural nilai dalam metaphor artistik. Para seniman tokoh dalam  gerakan ini adalah Jim Supangkat, Nyoman Nuarta, S. Primka, Dede Eri Supria, Redha Sorana, Nanik Mirna, Hardi, Wagiono. S, Agus Tjahjono, B. Munni Ardhi dan Bachtiar Zainoel serta masih banyak seniman lain. Pameran legendaries Gerakan Seni Rupa Baru adalah “Pasaraya Dunia Fantasi“ di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 2 hingga 7 Agustus 1975, tepat delapan bulan setelah peristiwa Desember Hitam (penentangan hadiah “Lukisan yang Baik” kepada Abas Alibasyah, Aming Prayitno, A.D. Pirous, Irsam, dan Widayat oleh para seniman muda).

Dalam era seni kontemporer sekarang ini, paradigma kritik seni mengenai jiwa dan imajinasi dalam seni dapat diterapkan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan kritik karya seni seharusnya tidak hanya dilakukan secara formalistik atau sebatas menilai kualitas visual objeknya saja. Pendekatan yang mendalam akan dapat membantu pemahaman mengenai apa itu seni dan apa yang bukan, dengan masih melibatkan pentingnya kepekaan perasaan dalam mengapresiasi karya. Seniman-seniman kontemporer yang berhasil berkiprah dengan paradigma estetik ini antara lain adalah Heri Dono, Agus Suwage, Entang Wiharso, Ugo Untoro, dan para perupa lain yang berani mempermainkan batas-batas estetika keindahan. 

Lukisan surrealisme Indonesia. Koleksi Art Gallery Jakarta. Kontak WA kami untuk mendapatkan lukisan pelopor seni surealis ini.

Oleh karena itu, muncul fenomena kurator di Indonesia yang pada awalnya berkembang melalui galeri-galeri komersial untuk pewacanaan paradigma karya seni rupa. Mereka mengundang para penulis seni untuk mengkurasi karya pada pameran yang mereka selenggarakan. Dengan perkembangan ini, profesi kurator seolah-olah hanya identik dengan praktik kerja penulisan kuratorial pameran. Kecenderungan ini menjadikan para kurator di Indonesia seringkali hanya terpaku pada tema pameran, sehingga tidak mengembangkan perspektif mereka mengenai riset dan kajian karya seni, apalagi konservasi karya-karya seni bersejarah.

Lembaga-lembaga seni di Indonesia banyak yang belum merekrut kurator sebagai bagian dari tim mereka. Di Galeri Nasional Indonesia, sudah dibentuk tim kurator tetap yaitu Sudjud Dartanto, Asikin Hasan, Citra Smara Dewi, Rizki A. Zaelani dan Suwarno Wisetrotomo. Dengan dibentuknya tim tersebut, pengorganisasian pameran di Galeri Nasional Indonesia jadi lebih tertata jelas. Hendaknya lembaga-lembaga kesenian lain seperti Taman Budaya atau Bentara Budaya juga membentuk tim kurator yang berbasis riset. Sehingga pengkajian karya dalam setiap pameran dapat menjadi bagian dalam wacana penelitian sejarah seni rupa Indonesia.

Lukisan aliran kontemporer Indonesia karya pelukis muda Seruni Bodjawati di era Covid 19. Koleksi Art Gallery Jakarta. Kontak WA kami untuk mendapatkan lukisan ini.

Karya seni kontemporer menyajikan paradigma baru yang lebih lugas sebagai wacana seperti tema-tema mengenai konsumerisme, globalisme, kesukuan, feminisme, budaya homoseksualitas, post kolonialisme dan masalah identitas. Perubahan paradigma estetika dalam sejarah seni lukis Indonesia hingga era kontemporer dapat dikaji untuk menganalisa perkembangan sosial dan budaya yang sedang terjadi.

Kajian Literatur

Hartoko, Dick. Manusia dan Seni, Yogyakarta: Kanisius, 1994

Hebert, Kurt, The Complete Book of Artist’s Techniques, New York: Themes and Hudson, 1958

Janson, Horst Woldemar, History of Art: A Survey of Major Visual Arts from the Dawn of History to the Present Day, New York: Harry N. Abrams Incorporated, 1977

K. Bhabha, Homi, Mimicry of Man, Location of Culture, Routledge: London, 1994

Kartika, Sony Dharsono, Seni Rupa Modern, Bandung: Rekayasa Sains, 2004

Kennedy, R., The Elusive Human Subject, London: Free Association Books, 1998

Kraus, Warner, “Raden Saleh Di Jerman” dalam Jurnal Kalam No: 21, 2004

Lucie-Smith, Edward, Art today: from abstract expressionism to superrealism, Michigan: Phaidon, 1977

Nelson, Robert S., Critical Terms for Art History. USA: The University of Chicago Press, 2003

Perbakawatja dan Harahap, Ensiklopediks Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981

Selz, Peter, Art in Our Times: A Pictorial History 1890-1980, New York: Harry N. Abrams Incorporated, 1981

Soedarso, Sp., Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern, Yogyakarta: Saku Dayar Sana, 1990

Susanto, Mikke, Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Popular posts from this blog

Biography of Indonesian Woman Artist Seruni Bodjawati

Seruni Bodjawati is an Indonesian woman artist and painter who has received various awards in the field of art and culture. Her artworks and paintings have been displayed in galleries and museums in various cities in Indonesia as well as in countries across Asia, Europe, and America. Seruni Bodjawati started painting at a young age and won various children's painting competitions in Yogyakarta and Central Java since the age of three. She pursued her formal education in Bachelor's of Fine Arts in Painting at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta and Master's in Fine Arts Creation at the Postgraduate Institute of Indonesian Arts Yogyakarta. Continuously dedicated to the field of art, Seruni consistently expanded her creative scope by producing indie art films, creating Javanese Wayang puppet theater, managing art projects, and writing art essays while also teaching at universities. Seruni authored the art history literacy book "Perempuan-Perempuan Menggugat&quo